Jumat, 20 Desember 2013

ABK, CI-BI, dan PLK



ABK (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS)

Yang dimaksud ABK sesuai UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 32 Ayat 1 yang perlu Pendidikan Khusus (PK) diantaranya anak-anak/peserta didik penyandang ketunaan seperti :

1. Penyandang Disabilitas:
  • Tunanetra/buta dan Low Vision yang bermasalah dengan penglihatan.
  • Tunarungu yaitu hambatan pendengaran dan Tunawicara yaitu hambatan berbicara.
  • Tunadaksa yaitu lumpuh/hambatan fisik atau kehilangan satu/sebagian fisik.
  • Cerebral Palsy yaitu lumpuh/hambatan fisik akibat gangguan motorik syaraf.
  • Tunaganda yaitu memiliki dua jenis handicap/ketunaan.

2. Anak Kesulitan Belajar:
  • Hiperaktif, yaitu anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian pada jangka waktu tertentu, anak hanya mampu memusatkan perhatian pada waktu yang sangat pendek, mudah terganggu perhatian dan pikirannyanya dan tidak mampu mengontrol diri untuk bersikap tenang.
  • ADD (Attention Deficit Disorder)/ ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik anak-anak hingga menyebabkan aktivitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Hal ini ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan selalu meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk, atau sedang berdiri. Beberapa kriteria yang lain sering digunakan adalah suka meletup-letup, aktivitas berlebihan, dan suka membuat keributan. 
  • Autis, yaitu anak yang terhambat dengan bidang sosialisasi, imajinasi, dan komunikasi.  
  • Asperger Syndrome, yaitu salah satu gejala autisme dari kemampuan linguistik dan kognitif di mana para penderitanya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga kurang begitu diterima.
  • Down Syndrome yaitu suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak dengan ciri badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid.
  • Tunagrahita yaitu keterbelakangan intelektual dan perilaku. 
  • Dyslexia, yaitu kondisi ketidakmampuan belajar khususnya dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis.
  • Dysgraphia, yaitu ketidakmampuan belajar dari kesulitan dalam mengungkapkan pikiran secara tertulis dan grafis.
  • Dysphasia, yaitu ketidakmampuan memproduksi dan mengerti bahasa.
  • Dyscalculia, yaitu kesulitan dalam belajar atau memahami perhitungan, termasuk memahami simbol-simbol matematika.
  • Dyspraxia, yaitu kesulitan yang dialami seorang anak dalam melaksanakan proses  “pembentukan ide” untuk membuat sebuah gerakan terencana, proses dalam “perencanaan gerak” untuk mencapai idenya, dan proses “pelaksanaan gerakan “ atau action tersebut. Dyspraxia dikenal juga sebagai hambatan/gangguan motorik.
Kemudian anak-anak non disabilitas yang memiliki kelebihan daripada anak normal seusianya seperti:

3. Anak Bakat Istimewa (multiple intelligences):
anak yang berbakat dibidang Kesenian, Olahraga, Ketangkasan dan Ketrampilan.

4. Anak Cerdas Istimewa:
anak dengan IQ 130< dan anak Indigo (anak mempunyai indera keenam atau intuisi yang luar biasa).



Sedangkan ABK non disabilitas lainnya pada Pasal 32 Ayat 2 UU Sisdiknas No.20/2003 yang perlu Pendidikan Layanan Khusus (PLK) diantaranya adalah:
1. Anak Korban Sosial-Ekonomi:
  • pekerja/buruh anak,
  • anak pemulung,
  • napi anak/ anak yang berhadapan dengan hukum (ABH),
  • pengasong anak,
  • anak pelacur,
  • pelacur anak,
  • anak korban asusila,
  • anak korban trafficking,
  • anak jalanan,
  • anak korban narkoba
  • anak korban HIV/AIDS,
  • anak korban perceraian,
  • anak yatim-piatu,
  • anak putus sekolah,
  • anak dari keluarga miskin absolut.

2. Anak Korban Bencana:
  • anak korban bencana alam,
  • anak korban konflik,
  • anak korban peperangan,
  • anak pengungsi.

3. Anak dengan Kendala Geografis:
  • anak-anak dari tenaga kerja Indonesia (TKI) diluar negeri.
  • anak-anak di wilayah 3T seperti anak di daerah tertinggal, anak di pulau terdepan, anak di terpencil/pedalaman/suku).
Catatan:
Anak-anak usia 7-18/19 tahun seperti 1. Korban Sosial-Ekonomi, 2. Korban Bencana, 3. Kendala Geografis tersebut ada juga yang dibina/ diasuh pada lembaga-lembaga di lingkup Asosiasi PLK (Pendidikan Layanan Khusus), PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), TBM (Taman Bacaan Masyarakat) ataupun LSM-NGO yang terkait dengan kategori ini.







CI-BI
Pasal 5 ayat 4 UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa warga negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

Perlunya perhatian khusus yang siswa yang memiliki kecerdasan/bakat istimewa (CI+BI), dapat dianggap selaras dengan fungsi utama pendidikan, yaitu mengembangkan potensi siswa secara utuh dan optimal. Strategi pendidikan yang ditempuh selama ini bersifat masal memberikan perlakuan standar/rata-rata kepada semua siswa, sehingga kurang memperhatikan perbedaan antar siswa dalam kecakapan, minat, dan bakatnya. Dengan strategi semacam ini, keunggulan akan muncul secara acak dan sangat tergantung kepada motivasi belajar siswa serta lingkungan belajar dan mengajarnya. Oleh karena itu perlu dikembangkan keunggulan yang dimiliki oleh siswa agar potensi yang dimiliki menjadi prestasi yang unggul.

Anak CI+BI (gifted-talented) berbeda dengan dengan anak pintar (brigth/higt achiever).  Anak-anak pintar tidak bisa dimasukkan ke dalam kelompok gifted-talented karena mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Sekalipun mereka juga memiliki tingkat intelegensi yang tinggi, namun kemampuan mereka dalam analisis, abstraksi dan kreativitas tidak se luar biasa anak-anak CI+BI. Berbagai perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Perhatian khusus kepada siswa CI+BI selaras dengan fungsi utama pendidikan, yaitu mengembangkan potensi siswa secara utuh dan optimal. Pengembangan potensi tersebut memerlukan strategi yang sistematis dan terarah. Tanpa layanan pembinaan yang sistematis terhadap siswa yang berpotensi cerdas dan atau bakat istimewa, bangsa Indonesia akan kehilangan kekayaan SDM yang tidak terukur nilainya.
Perhatian khusus tersebut tidak dimaksudkan melakukan diskriminasi, tetapi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi siswa. Melalui penyelenggaraan pendidikan khusus bagi siswa CI+BI, diharapkan potensi-potensi yang selama ini belum dikembangkan secara optimal, akan tumbuh dan menunjukkan kinerja yang baik. Kondisi ini pada gilirannya akan dapat memberi kontribusi terhadap kehormatan dan nama baik bangsa Indonesia di antara bangsa-bangsa lain di dunia.

Kebijakan pemerintah dibidang pendidikan untuk anak CI+BI telah dilaksanakan sejak tahun 1974. Bentuknya: PPSP, sekolah unggul, sekolah plus, sekolah percontohan, sampai dengan program aksel. Namun kebijakan itu dari waktu ke waktu terus berganti tanpa ada kesinambungan. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara gamblang telah menyebutkan bahwa siswa CI+BI berhak mendapat pendidikan khusus. Meskipun UU tersebut sudah berlaku sejak 7 tahun yang lalu, namun sampai saat ini layanan pendidikan semacam itu masih minimal.

Menurut berbagai hasil penelitian, terdapat 2% dari populasi anak usia sekolah, adalah anak yang memiliki potensi cerdas/berbakat istimewa. Jika mengacu pada data BPS 2005, terdapat 65.291.624 anak usia sekolah (usia 4-19 thn). Artinya terdapat 1.305.832 anak Indonesia memiliki potensi cerdas/berbakat istimewa (CI+BI). Meskipun jumlah tersebut relatif kecil, tetapi layanan kepada mereka tidak cukup memadai. Satu-satunya bentuk layanan pendidikan bagi anak CI+BI hanyalah dalam bentuk percepatan (akselerasi). Berdasarkan data Asossiasi CI+BI tahun 2008/9, Jumlah siswa CI+BI yang sudah terlayani di sekolah akselerasi masih sangat kecil, yaitu 9.551 orang yang berarti baru 0,73% siswa CI+BI yang terlayani.

Ditinjau dari segi kelembagaan, dari 260.471 sekolah, baru 311 sekolah yang memiliki program layanan bagi anak CI+BI. Sedangkan di madrasah, dari 42.756 madrasah, baru ada 7 madrasah yang menyelenggarakan program aksel. Ini berarti masih sangat rendah sekali jumlah sekolah/madrasah yang memberikan layanan pendidikan kepada siswa CI+BI, serta keterbatasan dari ragam pelayanan. Sebagaian besar dari anak-anak tersebut “dipaksa” mengikuti pendidikan yang sama dengan anak-anak normal, sehingga mereka mengalami kondisi “underachiever”.

Saat ini sudah ada lembaga/sekolah standar isi bagi pendidikan khusus bagi anak berkelainan/ cacat (sejak tahun 2006). Kemudian dilengkapi dengan Permendiknas tentang Prosedur operasional standar UN, standar proses, standar sarana, dan standar penilaian. Hal demikian tidak terjadi pada pendidikan khusus untuk siswa CI+BI. Siswa CI+BI memperoleh muatan kurikulum yang sama dengan siswa reguler, dan hanya memperoleh peluang untuk mempercepat penyelesaian studi (program aksel). Hal ini mengakibatkan potensi kecerdasan yang dimiliki tidak dapat berkembang secara optimal. Di sisi lain, tidak ada deskripsi yang spesifik tentang kompetensi dari siswa CI+BI.

Secara kelembagaan, belum ada sekolah khusus untuk siswa CI+BI. Meskipun peraturan pemerintah memberikan peluang untuk pendirian sekolah semacam itu, dengan tetap mengedepankan semangat inklusif. Keberadaan program aksel sebagai sarana pengembangan potensi siswa CI+BI merupakan salah satu bentuk kelas inklusi, meskipun ada siswa non CI+BI di dalamnya. Yang terjadi justru sorotan negatif tentang program aksel karena membuat siswa menjadi “teralienasi” dari lingkungannya.  Hal ini menjadi alasan sebagian kelompok masyarakat menyarankan program ini dibubarkan.

Di beberapa sekolah, ditemukan bahwa program aksel merupakan “produk” yang menjadi daya jual sekolah yang bersangkutan. Bahkan ada ditemukan, seluruh siswanya adalah peserta program aksel, meskipun tidak memenuhi kriteria untuk itu. Alasan menerima siswa non CI+BI dalam program aksel lebih didasarkan untuk menekan unit cost.
Di sisi lain, maraknya pemberian label “sekolah bertaraf internasional”, menjadikan progam aksel mulai ditinggalkan. Kebijakan penerapan SKS juga dikemukakan alasan menjadikan aksel dapat digantikan. Hal ini disebab siswa boleh mengambil kredit lebih banyak jika memiliki kemampuan untuk itu.

Dari aspek ketenagaan, Guru yang mengajar di program aksel tidak disiapkan secara khusus. Lebih jauh bahkan tidak ada kriteria tertulis, prasyarat guru yang dapat mengajar di sana. Di beberapa tempat ditemukan, guru yang mengajar menggunakan sistem arisan. Artinya mereka berganti-ganti sebagai pengajar di program aksel. Di tempat lain, ditemukan menurunnya semangat/etos kerja pengajar program aksel yang menuntut tambahan insentif, karena harus mengajar di program aksel. Akibatnya, sekolah yang tidak dapat mengakses dana dari masyarakat atau subsidi, mulai kewalahan untuk melanjutkan program.

Dari aspek pembelajaran, proses yang terjadi di dalam dan di luar kelas, masih menekankan pada pencapaian daya serap materi. Hal ini mengakibatkan siswa aksel menerima beban lebih berat karena penyelesaian studi yang lebih cepat. Akibatnya model pembelajaran yang digunakan juga tidak berbeda dengan siswa reguler. Sementara itu pemanfaatan ICT dalam proses pembelajaran juga relatif terbatas, karena kemampuan guru dalam bidang itu juga terbatas.

Dari aspek penilaian, Hasil akhir kelulusan siswa program aksel juga tetap mengacu pada UN siswa reguler. Keadaan ini “memaksa” sekolah untuk memfokuskan kembali siswa aksel pada semester akhir untuk menghadapi UN. Hal ini juga mendorong orang tua siswa dan pihak sekolah menggunakan jasa bimbel agar anaknya lulus. Di sisi lain, ditemukan adanya program remedial bagi siswa CI+BI yang “seolah” menjadi paradoks bagi program ini sendiri.

Dari aspek kesiswaan, belum semua siswa dengan kualifikasi very superor yang memperoleh layanan atau mengakses program aksel. Akibatnya siswa-siswa tersebut jadi “siswa biasa”. Hal ini dapat mengakibatkan potensi siswa CI+BI menjadi mubazir. Sedangkan potensi lain siswa kelas aksel tidak dapat berkembang secara optimal karena beban belajar akibat percepatan
Dari aspek kelanjutan studi, relatif terbatas perguruan tinggi yang memberi kemudahan akses bagi siswa CI+BI untuk masuk. Akibatnya banyak siswa CI+BI, terutama yang menang olimpiade, ditawari untuk melanjutkan studi oleh perguruan tinggi luar negeri dengan beasiswa dan bahkan mendapat perlakuan setara dengan warga negara yang bersangkutan. Di sisi lain, siswa CI+BI yang memiliki keterbasan ekonomi juga tidak dapat melanjutkan studi, karena makin mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi.

Dengan memahami berbagai masalah di atas, maka penyelenggaraan pendidikan khusus untuk siswa CI+BI yang selama ini dilayani dalam bentuk program aksel perlu dilakukan pembenahan. Pembenahan yang dilakukan mencakup seluruh aspek penyelenggaraan pendidikan itu.  Salah satu upaya pembenahan adalah dengan melibatkan semua pihak terkait untuk melakukan pembenahan tersebut. Hal ini menjadi penting, karena selama ini sekolah-sekolah penyelenggara aksel berjalan sendirian dan sebatas menjadi operator kebijakan.

Dalam konteks tersebut, pada bulan Desember 2007, dibentuklah Asosiasi CI+BI, yang melibatkan unsur perguruan tinggi (MIPA, Psikologi, Seni, Olahraga, Pendidikan), sekolah-sekolah aksel, kelompok masyarakat (lembaga seni, olahraga, program keberbakatan) serta perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Direktorat PSLB.

Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Pendidikan Khusus Untuk Siswa Cerdas/ Berbakat Istimewa, untuk selanjutnya disebut Asosiasi CI+BI dibentuk pada tanggal 11 Desember 2007 di Semarang untuk jangka waktu yang tidak ditentukan dan berkedudukan di Jakarta.

Pembentukan dilakukan oleh perwakilan dari unsur sekolah penyelenggara program aksel, perguruan tinggi yang memberikan pendampingan program di sekolah penyelenggara aksel, dan unsur pendukung yang antara lain mencakup Direktorat PPKLK DIKDAS, Dinas Pendidikan, PP Iptek TMII Jakarta, Pusat Pembibitan Saintis Muda dan sebagainya.

Asosiasi CI+BI bersifat independen yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan khusus bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

Hasil penelitian dari Balitbang Depdikbud (1986) dan Council of Curriculum Examinations and Assessment(2006) menyebutkan bahwa seorang anak cerdas istimewa dapat mempunyai beberapa dari ciri-ciri berikut ini:
  1. Sangat peka dan waspada
  2. Belajar dengan mudah dan cepat
  3. Mampu berkonsentrasi
  4. Sangat logis
  5. Cepat berespon secara verbal dengan tepat
  6. Lancar berbahasa
  7. Mempunyai daya ingat yang baik
  8. Mempunyai pengetahuan umum yang luas
  9. Mempunyai minat yang luas dan mendalam
  10. Memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan
  11. Cermat atau teliti dalam mengamati
  12. Kemampuan membaca yang baik
  13. Lebih menyukai kegiatan verbal daripada kegiatan tertulis
  14. Mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah dengan sangat cepat
  15. Memiliki kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah
  16. Menunjukkan cara pemecahan masalah yang tidak lazim
  17. Mempunyai pendapat dan pandangan yang sangat kuat terhadap suatu hal
  18. Mempunyai rasa humor
  19. Mempunyai daya imajinasi yang hidup dan orisinil
  20. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa)
  21. Mempunyai tujuan yang jelas dalam tiap kegiatan atau perbuatannya
  22. Tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar
  23. Tertarik pada topik-topik yang berkaitan dengan anak-anak yang berusia lebih tua darinya
  24. Dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang dewasa, bahkan lebih baik daripada jika berkomunikasi dengan anak sebayanya
  25. Bisa belajar sendiri dalam bidang-bidang yang diminati
  26. Berfokus pada minatnya sendiri, bukan pada apa yang diajarkan
  27. Mempunyai keterampilan sosial
  28. Mudah bosan pada hal-hal yang dianggapnya rutin
  29. Menunjukkan kepemimpinan yang tinggi
  30. Kadang-kadang tingkah lakunya tidak disukai orang lain.

PLK
Pendidikan Layanan Khusus

 Apakah Pendidikan Layanan Khusus itu?
Pendidikan Layanan Khusus (PLK) adalah suatu bentuk sekolah alternatif yang mengakomodasikan pendidikan bagi anak-anak usia sekolah di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

  • Apa Landasan Yuridisnya?
  1. Undang–undang Dasar 1945 (amandemen), pasal 31, ayat (1): setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
  2. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 32, ayat (2) mengatakan: Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

  • Mengapa program ini diselenggarakan ?
Mengingat anak-anak ini sangat berbeda dari segi ekonomi, kondisi lingkungan, dan keadaan sosialnya dengan anak-anak didik yang bersekolah di sekolah regular, maka mereka sangat memerlukan penanganan khusus untuk memberikan motivasi/dorongan. Agar mereka memiliki kepercayaan diri dan semangat untuk bersekolah.

  • Apakah tujuan pendidikan layanan khusus?
Tujuan Pendidikan Layanan Khusus antara lain:
  1. Menyediakan kebutuhan pendidikan bagi peserta didik yang berbeda dari segi kondisi lingkungan, Keadaan sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi untuk memperoleh pendidikan
  2. Memenuhi hak asasi peserta didik untuk memperoleh pendidikan.
  3. Memberikan bekal bagi peserta didik, agar mereka mampu hidup mandiri dalam kehidupan bermasyarakat.

  • Bagaimana penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus (PLK)
Pendidikan Layanan Khusus (PLK) diselenggarakan oleh yayasan / LSM / Lembaga Bidang Pendidikan dan Pemerintah. PLK merupakan pendidikan formal yang memiliki jenjang mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA. Pihak penyelenggara PLK melakukan kerja sama dengan TK, SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA serta SLB / sekolah khusus terdekat di sekitarnya. Sehingga peserta didik PLK dapat disalurkan ke sekolah tersebut.

  • Bagaimana kurikulum dan PBM nya ?
Penerapan kurikulum dan proses belajar mengajarnya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, komposisi kurikulumnya meliputi 20% untuk bidang akademik, dan 80% untuk pendidikan keterampilan. Pelaksanaan kurikulum berdasarkan kurikulum kearifan lokal. Pada prinsipnya kurikulum dan PMB nya bersifat fleksibel.

  • Bagaimana fasilitas pendidikannya?
Sarana dan prasarana bersifat fleksibel. Gedung (tempat PBM), alat pendidikan, infrastruktur (WC/kamar mandi), disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.

  • Siapakah peserta didiknya ?
Peserta didiknya adalah anak–anak usia sekolah dari daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonom (anak pemulung, anak jalanan, anak pekerja seks komersial, pekerja seks komersial, anak lapas, anak orang tua tidak mampu).

  • Siapa tenaga pengajarnya ?
Tenaga pengajarnya adalah tenaga relawan yang memiliki rasa peduli yang sangat tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah (Pusat dan Daerah)  berkewajiban untuk melakukan pembinaan.

  • Sumber biaya/dana
Sumber dana Sekolah Pendidikan Layanan Khusus berasal dari Donatur Perorangan, Perusahaan, Masyarakat Internasional Peduli Pendidikan, Lembaga-Lembaga Peduli Pendidikan, dan Pemerintah.

  • Model Pembelajaran Pendidikan Layanan Khusus:
  1. Aktif (active learning)
  2. Kreatif (creative learning)
  3. Menyenangkan (fun)

  • Pendekatan Pembelajaran Pada Pendidikan Layanan Khusus:
  1. Pendekatan Induktif adalah pendekatan yang membangun pengetahuan melalui kejadian atau fenomena empirik dengan menekankan pada belajar pada pengalaman langsung.
  2. Pendekatan Tematik adalah pendekatan yang mengorganisasikan pengalaman– pengalaman dan mendorong terjadinya pengalaman belajar yang meluas tidak hanya tersekat–sekat oleh batasan pokok bahasan, sehingga dapat mengaktifkan peserta didik untuk menumbuhkan kerjasama.
  3. Pendekatan Konstruktif adalah pendekatan yang menumbuhkan pengakuan bahwa setiap peserta didik mempunyai pandangan sendiri terhadap “dunia” dan alam sekitarnya berdasarkan pengalaman individu dalam menghadapi dan menyelesaikan situasi yang tidak tentu. Pembelajaran konstruktif dilaksanakan melalui pandangan individual peserta didik untuk membangun makna.
  4. Pendekatan Partisipatif Andragogis; adalah pendekatan yang membantu menumbuhkan kerjasama dalam menemukan dan menggunakan hasil–hasil temuannya yang berkaitan dengan lingkungan sosial, situasi pendidikan yang dapat merangsang pertumbuhan dan kesehatan individu, maupun masyarakat.
  5. Pendekatan Berbaris Lingkungan yaitu pendekatan untuk meningkatkan relevansi dan kebermanfaatan pembelajaran bagi peserta didik sesuai potensi dan kebutuhan local.


Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
Pendidikan Dasar
Direktorat Jenderal pendidikan Dasar

Jl. R.S. Fatmawati, Cipete, jakarta Selatan
Telp. (021) 7693262 Faks. (021) 7657062
Website: http:/pkplk-plb.org
Email: ppklk.dikdas@gmail.com.