Kejuaraan Tenis Meja oleh Dispora Provinsi Jawa Timur
Selasa, 24 Desember 2013
Sabtu, 21 Desember 2013
Jumat, 20 Desember 2013
ABK, CI-BI, dan PLK
ABK (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS)
Yang dimaksud ABK sesuai UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 32 Ayat 1 yang
perlu Pendidikan Khusus (PK) diantaranya
anak-anak/peserta didik penyandang ketunaan seperti :
1. Penyandang Disabilitas:
1. Penyandang Disabilitas:
- Tunanetra/buta dan Low Vision yang bermasalah dengan penglihatan.
- Tunarungu yaitu hambatan pendengaran dan Tunawicara yaitu hambatan berbicara.
- Tunadaksa yaitu lumpuh/hambatan fisik atau kehilangan satu/sebagian fisik.
- Cerebral Palsy yaitu lumpuh/hambatan fisik akibat gangguan motorik syaraf.
- Tunaganda yaitu memiliki dua jenis handicap/ketunaan.
2. Anak Kesulitan Belajar:
- Hiperaktif, yaitu anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian pada jangka waktu tertentu, anak hanya mampu memusatkan perhatian pada waktu yang sangat pendek, mudah terganggu perhatian dan pikirannyanya dan tidak mampu mengontrol diri untuk bersikap tenang.
- ADD (Attention Deficit Disorder)/ ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik anak-anak hingga menyebabkan aktivitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Hal ini ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan selalu meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk, atau sedang berdiri. Beberapa kriteria yang lain sering digunakan adalah suka meletup-letup, aktivitas berlebihan, dan suka membuat keributan.
- Autis, yaitu anak yang terhambat dengan bidang sosialisasi, imajinasi, dan komunikasi.
- Asperger Syndrome, yaitu salah satu gejala autisme dari kemampuan linguistik dan kognitif di mana para penderitanya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga kurang begitu diterima.
- Down Syndrome yaitu suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak dengan ciri badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid.
- Tunagrahita yaitu keterbelakangan intelektual dan perilaku.
- Dyslexia, yaitu kondisi ketidakmampuan belajar khususnya dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis.
- Dysgraphia, yaitu ketidakmampuan belajar dari kesulitan dalam mengungkapkan pikiran secara tertulis dan grafis.
- Dysphasia, yaitu ketidakmampuan memproduksi dan mengerti bahasa.
- Dyscalculia, yaitu kesulitan dalam belajar atau memahami perhitungan, termasuk memahami simbol-simbol matematika.
- Dyspraxia, yaitu kesulitan yang dialami seorang anak dalam melaksanakan proses “pembentukan ide” untuk membuat sebuah gerakan terencana, proses dalam “perencanaan gerak” untuk mencapai idenya, dan proses “pelaksanaan gerakan “ atau action tersebut. Dyspraxia dikenal juga sebagai hambatan/gangguan motorik.
Kemudian
anak-anak non disabilitas yang memiliki kelebihan daripada anak normal
seusianya seperti:
3. Anak Bakat Istimewa (multiple intelligences):
anak yang berbakat dibidang Kesenian, Olahraga, Ketangkasan dan Ketrampilan.
4. Anak Cerdas Istimewa:
anak dengan IQ 130< dan anak Indigo (anak mempunyai indera keenam atau intuisi yang luar biasa).
3. Anak Bakat Istimewa (multiple intelligences):
anak yang berbakat dibidang Kesenian, Olahraga, Ketangkasan dan Ketrampilan.
4. Anak Cerdas Istimewa:
anak dengan IQ 130< dan anak Indigo (anak mempunyai indera keenam atau intuisi yang luar biasa).
1. Anak Korban Sosial-Ekonomi:
- pekerja/buruh anak,
- anak pemulung,
- napi anak/ anak yang berhadapan dengan hukum (ABH),
- pengasong anak,
- anak pelacur,
- pelacur anak,
- anak korban asusila,
- anak korban trafficking,
- anak jalanan,
- anak korban narkoba
- anak korban HIV/AIDS,
- anak korban perceraian,
- anak yatim-piatu,
- anak putus sekolah,
- anak dari keluarga miskin absolut.
2. Anak Korban Bencana:
- anak korban bencana alam,
- anak korban konflik,
- anak korban peperangan,
- anak pengungsi.
3. Anak dengan Kendala Geografis:
- anak-anak dari tenaga kerja Indonesia (TKI) diluar negeri.
- anak-anak di wilayah 3T seperti anak di daerah tertinggal, anak di pulau terdepan, anak di terpencil/pedalaman/suku).
Catatan:
Anak-anak usia 7-18/19 tahun seperti 1. Korban Sosial-Ekonomi, 2. Korban Bencana, 3. Kendala Geografis tersebut ada juga yang dibina/ diasuh pada lembaga-lembaga di lingkup Asosiasi PLK (Pendidikan Layanan Khusus), PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), TBM (Taman Bacaan Masyarakat) ataupun LSM-NGO yang terkait dengan kategori ini.
Anak-anak usia 7-18/19 tahun seperti 1. Korban Sosial-Ekonomi, 2. Korban Bencana, 3. Kendala Geografis tersebut ada juga yang dibina/ diasuh pada lembaga-lembaga di lingkup Asosiasi PLK (Pendidikan Layanan Khusus), PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), TBM (Taman Bacaan Masyarakat) ataupun LSM-NGO yang terkait dengan kategori ini.
CI-BI
Pasal
5 ayat 4 UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa
warga negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.
Perlunya
perhatian khusus yang siswa yang memiliki kecerdasan/bakat istimewa (CI+BI),
dapat dianggap selaras dengan fungsi utama pendidikan, yaitu mengembangkan
potensi siswa secara utuh dan optimal. Strategi pendidikan yang ditempuh
selama ini bersifat masal memberikan perlakuan standar/rata-rata kepada semua
siswa, sehingga kurang memperhatikan perbedaan antar siswa dalam kecakapan,
minat, dan bakatnya. Dengan strategi semacam ini, keunggulan akan muncul secara
acak dan sangat tergantung kepada motivasi belajar siswa serta lingkungan
belajar dan mengajarnya. Oleh karena itu perlu dikembangkan keunggulan yang
dimiliki oleh siswa agar potensi yang dimiliki menjadi prestasi yang unggul.
Anak
CI+BI (gifted-talented) berbeda dengan dengan anak pintar (brigth/higt
achiever). Anak-anak pintar tidak bisa dimasukkan ke dalam kelompok
gifted-talented karena mereka memiliki karakteristik yang berbeda.
Sekalipun mereka juga memiliki tingkat intelegensi yang tinggi, namun kemampuan
mereka dalam analisis, abstraksi dan kreativitas tidak se luar biasa
anak-anak CI+BI. Berbagai perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut:
Perhatian
khusus kepada siswa CI+BI selaras dengan fungsi utama pendidikan, yaitu
mengembangkan potensi siswa secara utuh dan optimal. Pengembangan potensi
tersebut memerlukan strategi yang sistematis dan terarah. Tanpa layanan
pembinaan yang sistematis terhadap siswa yang berpotensi cerdas dan atau
bakat istimewa, bangsa Indonesia akan kehilangan kekayaan SDM yang tidak
terukur nilainya.
Perhatian
khusus tersebut tidak dimaksudkan melakukan diskriminasi, tetapi sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi siswa. Melalui penyelenggaraan pendidikan khusus
bagi siswa CI+BI, diharapkan potensi-potensi yang selama ini belum
dikembangkan secara optimal, akan tumbuh dan menunjukkan kinerja yang baik.
Kondisi ini pada gilirannya akan dapat memberi kontribusi terhadap kehormatan
dan nama baik bangsa Indonesia di antara bangsa-bangsa lain di dunia.
Kebijakan
pemerintah dibidang pendidikan untuk anak CI+BI telah dilaksanakan sejak
tahun 1974. Bentuknya: PPSP, sekolah unggul, sekolah plus, sekolah
percontohan, sampai dengan program aksel. Namun kebijakan itu dari waktu ke
waktu terus berganti tanpa ada kesinambungan. UU no. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional secara gamblang telah menyebutkan bahwa siswa CI+BI
berhak mendapat pendidikan khusus. Meskipun UU tersebut sudah berlaku sejak 7
tahun yang lalu, namun sampai saat ini layanan pendidikan semacam itu masih
minimal.
Menurut
berbagai hasil penelitian, terdapat 2% dari populasi anak usia sekolah,
adalah anak yang memiliki potensi cerdas/berbakat istimewa. Jika mengacu pada
data BPS 2005, terdapat 65.291.624 anak usia sekolah (usia 4-19 thn). Artinya
terdapat 1.305.832 anak Indonesia memiliki potensi cerdas/berbakat istimewa
(CI+BI). Meskipun jumlah tersebut relatif kecil, tetapi layanan kepada mereka
tidak cukup memadai. Satu-satunya bentuk layanan pendidikan bagi anak CI+BI
hanyalah dalam bentuk percepatan (akselerasi). Berdasarkan data Asossiasi
CI+BI tahun 2008/9, Jumlah siswa CI+BI yang sudah terlayani di sekolah
akselerasi masih sangat kecil, yaitu 9.551 orang yang berarti baru 0,73%
siswa CI+BI yang terlayani.
Ditinjau
dari segi kelembagaan, dari 260.471 sekolah, baru 311 sekolah yang memiliki
program layanan bagi anak CI+BI. Sedangkan di madrasah, dari 42.756 madrasah,
baru ada 7 madrasah yang menyelenggarakan program aksel. Ini berarti masih
sangat rendah sekali jumlah sekolah/madrasah yang memberikan layanan pendidikan
kepada siswa CI+BI, serta keterbatasan dari ragam pelayanan. Sebagaian besar
dari anak-anak tersebut “dipaksa” mengikuti pendidikan yang sama dengan
anak-anak normal, sehingga mereka mengalami kondisi “underachiever”.
Saat
ini sudah ada lembaga/sekolah standar isi bagi pendidikan khusus bagi anak
berkelainan/ cacat (sejak tahun 2006). Kemudian dilengkapi dengan
Permendiknas tentang Prosedur operasional standar UN, standar proses, standar
sarana, dan standar penilaian. Hal demikian tidak terjadi pada pendidikan
khusus untuk siswa CI+BI. Siswa CI+BI memperoleh muatan kurikulum yang sama
dengan siswa reguler, dan hanya memperoleh peluang untuk mempercepat
penyelesaian studi (program aksel). Hal ini mengakibatkan potensi kecerdasan
yang dimiliki tidak dapat berkembang secara optimal. Di sisi lain, tidak ada
deskripsi yang spesifik tentang kompetensi dari siswa CI+BI.
Secara
kelembagaan, belum ada sekolah khusus untuk siswa CI+BI. Meskipun peraturan
pemerintah memberikan peluang untuk pendirian sekolah semacam itu, dengan
tetap mengedepankan semangat inklusif. Keberadaan program aksel sebagai
sarana pengembangan potensi siswa CI+BI merupakan salah satu bentuk kelas
inklusi, meskipun ada siswa non CI+BI di dalamnya. Yang terjadi justru
sorotan negatif tentang program aksel karena membuat siswa menjadi
“teralienasi” dari lingkungannya. Hal ini menjadi alasan sebagian
kelompok masyarakat menyarankan program ini dibubarkan.
Di
beberapa sekolah, ditemukan bahwa program aksel merupakan “produk” yang
menjadi daya jual sekolah yang bersangkutan. Bahkan ada ditemukan, seluruh
siswanya adalah peserta program aksel, meskipun tidak memenuhi kriteria untuk
itu. Alasan menerima siswa non CI+BI dalam program aksel lebih didasarkan
untuk menekan unit cost.
Di
sisi lain, maraknya pemberian label “sekolah bertaraf internasional”,
menjadikan progam aksel mulai ditinggalkan. Kebijakan penerapan SKS juga
dikemukakan alasan menjadikan aksel dapat digantikan. Hal ini disebab siswa
boleh mengambil kredit lebih banyak jika memiliki kemampuan untuk itu.
Dari
aspek ketenagaan, Guru yang mengajar di program aksel tidak disiapkan secara
khusus. Lebih jauh bahkan tidak ada kriteria tertulis, prasyarat guru yang
dapat mengajar di sana. Di beberapa tempat ditemukan, guru yang mengajar
menggunakan sistem arisan. Artinya mereka berganti-ganti sebagai pengajar di
program aksel. Di tempat lain, ditemukan menurunnya semangat/etos kerja
pengajar program aksel yang menuntut tambahan insentif, karena harus mengajar
di program aksel. Akibatnya, sekolah yang tidak dapat mengakses dana dari
masyarakat atau subsidi, mulai kewalahan untuk melanjutkan program.
Dari
aspek pembelajaran, proses yang terjadi di dalam dan di luar kelas, masih
menekankan pada pencapaian daya serap materi. Hal ini mengakibatkan siswa
aksel menerima beban lebih berat karena penyelesaian studi yang lebih cepat.
Akibatnya model pembelajaran yang digunakan juga tidak berbeda dengan siswa
reguler. Sementara itu pemanfaatan ICT dalam proses pembelajaran juga relatif
terbatas, karena kemampuan guru dalam bidang itu juga terbatas.
Dari
aspek penilaian, Hasil akhir kelulusan siswa program aksel juga tetap mengacu
pada UN siswa reguler. Keadaan ini “memaksa” sekolah untuk memfokuskan
kembali siswa aksel pada semester akhir untuk menghadapi UN. Hal ini juga
mendorong orang tua siswa dan pihak sekolah menggunakan jasa bimbel agar
anaknya lulus. Di sisi lain, ditemukan adanya program remedial bagi siswa
CI+BI yang “seolah” menjadi paradoks bagi program ini sendiri.
Dari
aspek kesiswaan, belum semua siswa dengan kualifikasi very superor
yang memperoleh layanan atau mengakses program aksel. Akibatnya siswa-siswa
tersebut jadi “siswa biasa”. Hal ini dapat mengakibatkan potensi siswa CI+BI
menjadi mubazir. Sedangkan potensi lain siswa kelas aksel tidak dapat
berkembang secara optimal karena beban belajar akibat percepatan
Dari
aspek kelanjutan studi, relatif terbatas perguruan tinggi yang memberi
kemudahan akses bagi siswa CI+BI untuk masuk. Akibatnya banyak siswa CI+BI,
terutama yang menang olimpiade, ditawari untuk melanjutkan studi oleh
perguruan tinggi luar negeri dengan beasiswa dan bahkan mendapat perlakuan
setara dengan warga negara yang bersangkutan. Di sisi lain, siswa CI+BI yang
memiliki keterbasan ekonomi juga tidak dapat melanjutkan studi, karena makin
mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi.
Dengan
memahami berbagai masalah di atas, maka penyelenggaraan pendidikan khusus
untuk siswa CI+BI yang selama ini dilayani dalam bentuk program aksel perlu
dilakukan pembenahan. Pembenahan yang dilakukan mencakup seluruh aspek
penyelenggaraan pendidikan itu. Salah satu upaya pembenahan adalah
dengan melibatkan semua pihak terkait untuk melakukan pembenahan tersebut.
Hal ini menjadi penting, karena selama ini sekolah-sekolah penyelenggara
aksel berjalan sendirian dan sebatas menjadi operator kebijakan.
Dalam
konteks tersebut, pada bulan Desember 2007, dibentuklah Asosiasi CI+BI, yang
melibatkan unsur perguruan tinggi (MIPA, Psikologi, Seni, Olahraga,
Pendidikan), sekolah-sekolah aksel, kelompok masyarakat (lembaga seni,
olahraga, program keberbakatan) serta perwakilan dari Dinas Pendidikan dan
Direktorat PSLB.
Asosiasi
Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Pendidikan Khusus Untuk Siswa
Cerdas/ Berbakat Istimewa, untuk selanjutnya disebut Asosiasi CI+BI dibentuk
pada tanggal 11 Desember 2007 di Semarang untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan dan berkedudukan di Jakarta.
Pembentukan
dilakukan oleh perwakilan dari unsur sekolah penyelenggara program aksel,
perguruan tinggi yang memberikan pendampingan program di sekolah
penyelenggara aksel, dan unsur pendukung yang antara lain mencakup Direktorat
PPKLK DIKDAS, Dinas Pendidikan, PP Iptek TMII Jakarta, Pusat Pembibitan
Saintis Muda dan sebagainya.
Asosiasi
CI+BI bersifat independen yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka
peningkatan mutu secara berkelanjutan dan efektivitas penyelenggaraan
pendidikan khusus bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa.
Hasil
penelitian dari Balitbang Depdikbud (1986) dan Council of Curriculum Examinations
and Assessment(2006) menyebutkan bahwa seorang anak cerdas istimewa dapat
mempunyai beberapa dari ciri-ciri berikut ini:
PLK
|
Langganan:
Postingan (Atom)